Selasa, 13 Desember 2011

Hubungan Penduduk Asli dan Pendatang Di Kota Jogjakarta

Hubungan Penduduk Asli dan Pendatang  Di Kota Jogjakarta

Banyak orang  datang ke kota metropolitan bertujuan untuk mengadu nasib, berbeda dengan mereka yang  menginjakkan kaki di kota jogjakarta, mereka cenderung memilih kota gudeg ini sebagai tempat untuk menimba ilmu, sama halnya dengan anggapan pribadi saya, yang masih meyakini kota gudeg ini adalah kota yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih dibanding daerah lain.
Terlalu banyaknya penduduk pendatang di kota ini membuat sulit akan penghitungan dan sosialisasi kegiatan  pada warga asli jogjakarta. Hal ini menunjukkan akan adanya tingkat heterogenitas kota pelajar  tentang pergulatan dan berdialektika akan agama, kultur, suku, etnik dan perbedaan lainnya yang semakin tinggi. Karena alasan ini pula jogjakarta dapat disebut sebagai kota budaya.
Namun seperti yang kita lihat, kedatangan penduduk luar malah semakin melunturkan dan seakan terus menghilangkan budaya khas jogjakarta. Seperti halnya bahasa jawa kental yang menjadi sebuah ciri dari orang jogja, semakin meluntur apalagi pada kalangn anak muda asli pribumi jogja, mereka semakin sulit menggunakan bahasa lokal yang menjadi sebuah ciri dari daerahnya, karena mereka dituntut dalam pergaulan yang mengglobal.
Bukan hanya masyarakat pribumi saja yang enggan menggunakan bahasa atau mempraktekkan budaya aslinya, kota jogja yang seharusnya menjadi indonesia mini hanya sebagai simbolik, mereka juga enggan untuk mengapresiasikan budaya mereka masing - masing, mungkin faktor utamanya adalah sebuah kegengsian, yang menuntut mereka bergaul secara global. Apa ini pertanda kota jogja sebagai kota pelebur dari berbagai budaya yang beragam?
Di kota jogja pun, kita sering mendapati kos yang sudah memiliki fasilitas pribadi yang tidak perlu didapatkannya diluar kamar, hal ini memungkinkan seseorang untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan kelompoknya, maupun dengan masyarakat pribumi yang tinggal di daerah sekitar kos, mereka merasa canggung bahkan merasa hal itu tidak penting baginya, karena tujuan mereka ke kota gudeg ini hanya sebagai penimba ilmu.

Tidak heran jika bauran yang terjadi pada masyarakat pribumi dan pendatang di kota jogjakarta menyebabkan sebuah kesenjangan. Seperti yang saya alami selama ini, jangankan dengan masyarakat luar, kadang dengan teman satu kos saja kita tidak saling kenal, alasan dari semua ini adalah keegoisan dan individualistik yang dengan tidak sadar teerbentuk pada benak masyarakat pribumi maupun pendatang.
Faktor kesibukan tiap individu , tidak ingin tahu, sifat individualistik dan keegoisan yang membaur di penduduk asli maupun pendatang, menghilangkan anggapan dasar bahwa manusia sebagai makhluk sosial, yang saling menbutuhkan. 
Dibalik dari dampak yang terlihat diatas, adanya penduduk datang di kota Jogjakarta juga membentuk stereotip pada masyarakat luas bahwa penduduk Jogjakarta (mengglobal tanpa melihat penduduk datang maupun asli) merupakan orang – orang berpendidikan yang berkualitas. Hal ini jelas menguntungkan dalam pembentukan citra bagi kota Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar